Polemik THR Mitra Aplikator: Hak Pekerja atau Ancaman bagi Industri?

4 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Selain fleksibilitas, ekonomi gig berkontribusi pada pengembangan keterampilan pekerja. Dengan bekerja di sektor ini, individu dapat memperoleh pengalaman baru dan meningkatkan keterampilan mereka, baik di bidang digital maupun keterampilan lain yang relevan dengan pekerjaan mereka. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh bahkan membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.

Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif. 

Pemerintah pun merespons dengan berbagai inisiatif hingga mempertimbangkan untuk mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital, meskipun kebijakan ini menuai pro dan kontra.

Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri. Beberapa platform digital menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas. 

Jika dipaksakan, perusahaan bisa menaikkan harga tarif layanan yang berdampak pada konsumen atau menghapus program-program benefit yang sebelumnya diberikan kepada mitra. Bahkan, dalam skenario terburuk, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.

Sejumlah negara telah mengalami dampak negatif akibat reklasifikasi pekerja gig yang terlalu kaku. Di Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap, beberapa platform ride-hailing utama mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%. Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, menilai bahwa pelaku industri on-demand di Indonesia telah menjalankan berbagai inisiatif, seperti bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus. 

Jika kebijakan Bantuan Hari Raya (BHR) diberlakukan, ada potensi industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.

Saat ini, sektor platform digital telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi. Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini berkontribusi sebesar 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diterbitkan harus memastikan tidak menghambat pertumbuhan atau membatasi manfaat bagi para mitra.

Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, mengungkapkan bahwa regulasi yang mengarah pada perubahan status mitra akan berdampak luas, tidak hanya bagi industri ride-hailing tetapi juga bagi ekosistem investasi dan ekonomi digital di Indonesia. Hal ini juga dapat mempengaruhi UMKM, pariwisata, dan sektor logistik yang bergantung pada layanan ride-hailing.


Secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja. Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 secara eksplisit menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi adalah kemitraan. 

Regulasi ketenagakerjaan Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, juga menegaskan bahwa hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama: pekerjaan, perintah, dan upah. Mitra pengemudi tidak memenuhi ketiga unsur ini karena mereka bekerja secara mandiri, menerima perintah dari konsumen, dan memperoleh penghasilan berdasarkan bagi hasil, bukan upah tetap.

Tunjangan Hari Raya (THR) sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR hanya diberikan kepada pekerja dengan hubungan kerja formal. Jika kebijakan ini dipaksakan kepada mitra pengemudi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum karena bertentangan dengan regulasi yang ada.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa fleksibilitas adalah faktor utama yang memungkinkan industri transportasi online berkembang pesat. Jika sektor ini dipaksa menerapkan model bisnis konvensional, ada risiko pertumbuhan industri akan terhambat. 
Oleh karena itu, solusi yang diambil harus bersifat win-win, tanpa menghambat keberlanjutan sektor ini. Sebab, jika industri ini terganggu, dampak terbesar justru akan dirasakan oleh para mitra aplikator serta masyarakat yang mengandalkan layanan ini untuk mobilitas sehari-hari.

Dialog terbuka mengenai solusi menjadi kunci agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama menjelang Hari Raya Lebaran. Menurut Prof. Aloysius Uwiyono, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami untuk menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Pemerintah sebaiknya berperan sebagai pengawas guna memastikan keseimbangan dan kepastian hukum, tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan kemitraan.

Saat ini, mayoritas pengemudi menghargai fleksibilitas yang mereka miliki. Jika mereka diperlakukan seperti pekerja konvensional, ada kemungkinan mereka kehilangan fleksibilitas tersebut—yang justru menjadi daya tarik utama pekerjaan ini. Yang terpenting adalah mencari solusi bersama yang berkelanjutan agar kesejahteraan pengemudi tetap terjamin tanpa mengorbankan pertumbuhan industri secara keseluruhan.

Read Entire Article