Membedah Lontar Bhuwana Purana, Lontar Kuno Berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuno

3 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Kemunduran kualitas kehidupan di Bali semakin terasa. Permasalahan mulai mengemuka dari berbagai lini. Kriminalitas meningkat, kerusakan lingkungan, korupsi, ketidakseimbangan pembangunan, bencana alam, sampai pariwisata yang mengangkangi kebudayaan setempat.

Dari kasus penusukan di Jalan Nangka Utara, Denpasar, kemudian pembangunan fasilitas pariwisata yang tidak pandang bulu, penyelewengan anggaran rakyat baik itu di birokrasi dan adat, pecahnya konflik antara warga lokal dan pendatang, sampai bencana alam. Ada yang salah dengan Bali? 

Penjelasan mengenai fenomena semacam ini sejatinya sudah dikupas dalam lontar Bhuwana Purana. Lontar kuno berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang lahir dari cendekiawan Nusantara ini memberikan pemahaman mengenai tata cara mengelola alam. Lontar yang disebut terinspirasi dari kitab-kitab Upanisad dan Wasista Tattwa ini dibedah, Minggu (23/2/2025), serangkaian Widyatula (Seminar) Bulan Bahasa Bali VII Tahun 2025 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali (Art Center), Denpasar. 

Peneliti I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa menguak sudut padang lontar ini dari sudut pandang lingkungan. Penjelasan lontar Bhuwana Purana mengenai lingkungan mencakup dua sisi yakni etika lingkungan dan lingkungan yang dipandang sebagai seorang perempuan (ekofeminisme). “Yang dipertanyakan dunia saat ini, tentang alam, etika lingkungan, sebenarnya di Bali itu sudah ada. Hanya saja kita tidak ngeh. Lontar Bhuwana Purana ini memberikan timbang pandang tentang pengelolaan alam,” ungkap Wahyu ketika ditemui usai seminar bedah lontar Bhuwana Purana, Minggu siang. 

Suasana widyatula (seminar) bedah lontar Bhuwana Purana di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali (Art Center), Denpasar, Minggu (23/2). –NGURAH RATNADI 

Kata Wahyu yang merupakan peneliti jebolan Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana (Unud) ini, setiap keputusan dan perilaku manusia akan berbuah respons timbal balik dari alam. Entah itu perlakuan baik kepada alam atau justru sebaliknya, alam akan memberikan respons yang sejalan. “Rusaknya alam itu menandakan rusaknya manusia, karena kerusakan alam dimulai dari kerusakan kualitas manusianya,” tegas peneliti kelahiran Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar ini. 

Membedah lontar Bhuwana Purana ini, dikatakan Wahyu, untuk membunyikan alarm bagi warga Bali dan para pemangku kepentingan. Bagaimanapun, tanda-tanda kerusakan alam telah jelas-jelas terjadi dan menjadi cara alam merespons perbuatan manusia di Pulau Dewata. Jangan heran terjadi bencana banjir di mana-mana ketika musim hujan tiba ketika manusia mengkhianati alam dengan membuang sampah di sungai dan selokan. Jangan pula terkejut terjadi tanah longsor ketika pembangunan tidak memperhatikan sempadan sungai dan tebing. Jangan juga menyesal, dalam beberapa dekade ke depan, Bali akan kelaparan ketika sawah penghasil beras terus dijual dan berubah menjadi bangunan. Sebab, alam akan merespons perlakuan manusia sebagaimana dinarasikan lontar Bhuwana Purana. 

“Kita gagap dan gugup ketika menghadapi masalah. Seolah-olah tidak punya cara, tidak punya narasi untuk menghadapi masalah lingkungan dan manusia. Padahal, kalau mau menelusuri lebih dalam tentang hal ini melalui teks, kita punya Bhuwana Purana,” beber Wahyu. Di samping itu, respons alam terhadap perilaku manusia ini juga dapat dilihat dari konsep sakti Bhatara Siwa yakni Bhatari Durga yang diinterpretasikan dari lontar Pradana Tattwa. Di mana, alam merupakan hasil pemurtian energi pradana (perempuan). 

“Alam adalah Bhatara Siwa Sakala menurut kaum intelektual. Untuk itu, tidak berani lancang mengeruk dan menjual alam karena tidak lain alam itu adalah Bhatara Siwa Sakala, Siwa yang berada di alam sakala. Namun, orang biasa hanya akan melihatnya tidak lebih dari materi dan properti,” ungkap Wahyu. Dalam konsep Pradana Tattwa, hal ini dipandang sebagai ekofeminisme. Ketika alam yang dirudapaksa, maka alam akan membalas dendam melalui pemurtian Bhatari Durga. Tidak perlu jauh-jauh mengartikan Durga, ia adalah entitas yang menyimbolkan respons alam atas perilaku manusia dalam bentuk bencana. “Kalau dari sisi manusia, Covid itu pandemi. Hujan badai itu bencana. Tapi, dari sudut pandang alam, hal tersebut merupakan cara alam merespons perlakuan manusia, merupakan imunitas alam terhadap manusia,” tegas Wahyu. 

Peneliti muda kelahiran 27 tahun silam ini berharap, para pemangku kepentingan di Bali dapat menyimak isi Bhuwana Purana. Sehingga, warisan leluhur Nusantara ini dapat menjadi salah satu referensi memahami dan menghadapi permasalahan Pulau Dewata. Tidak saja lingkungan, tetapi masalah berbagai lini. 7 ol1
Read Entire Article