25 Tahun di Kepemiluan, Ketua KPU Bali Lidartawan Pilih Pensiun dan Menulis Buku

3 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Lidartawan terbilang sosok fenomenal yang memimpin KPU Bali sejak 2018. Ia berhasil menahkodai lembaga yang berkantor di Jalan Cok Agung Tresna Nomor 8, Denpasar itu melalui dua pemilu yang sulit selama 2024 yakni Pilpres dan Pileg Serentak, serta Pilkada Serentak tanpa sengketa di Mahkamah Konstitusi.

“Kami berlima tidak akan lagi di KPU Bali, sudah dua periode. Saya pribadi tidak akan menjadi penyelenggara lagi, sudah capai,” ungkap Lidartawan di sela focus group discussion (FGD) evaluasi Pilkada Serentak 2024 di Sekretariat KPU Bali, Denpasar, Senin (25/2/2025).

Pria kelahiran Desa Sangsit, Sawan, Buleleng ini mengawali pengalaman di dunia kepemiluan pada 2003 silam di Kota Denpasar. Kala itu, Lidartawan berhasil menjadi Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Denpasar Barat dan menyelenggarakan Pemilu Presiden 2004 dan Pemilu Kepala Daerah 2005 pertama pasca reformasi.

Kemudian, menjelang Pemilu 2008, Lidartawan bergeser ke jajaran pengawas pemilu dengan menjadi Ketua Bawaslu Kota Denpasar pada tahun 2007. Kala itu, Bawaslu di level kabupaten/kota masih berbentuk kepanitiaan sehingga disebut Panwaslu.

Setelah sempat menyeberang ke Bawaslu, Lidartawan kembali ke KPU dengan mengikuti seleksi Anggota KPU Kabupaten Bangli Periode 2008-2013. Eks Direktur Eksekutif Bali Forum ini berhasil menjabat posisi Ketua selama dua periode sampai 2018, sebelum lanjut ke KPU Bali dan menjabat posisi yang sama hingga sekarang.

Terhitung sejak menjadi Ketua PPK Denpasar Barat pada 2003 silam, Lidartawan sudah berada di tengah-tengah sistem kepemiluan Indonesia selama 21 tahun hingga 2025 ini. Dan, 25 tahun kariernya dihabiskan di sistem kepemiluan sampai habis masa baktinya di KPU Bali dalam tiga tahun ke depan.

“21 tahun ini, saya melihat cukup bagus perkembangannya (kepemiluan). Cuman, sama seperti orang berjalan itu, mundurnya terlalu banyak. Lubang yang sudah ditutup, dibuka lagi,” ungkap Lidartawan menilai perkembangan pemilu tanah air selama masa kariernya.

Eks akademisi pertanian jebolan Universitas Udayana dan Universitas Gadjah Mada ini menilai, sistem pemilu khususnya pilkada tidak bisa diutak-atik dengan grusa-grusu. Hanya karena setangkai daunnya menguning, tidak lantas sepohon-pohonnya dicabut. Ini yang menjadi catatan 19 tahun pilkada langsung.

“Contoh saja yang baru-baru ini, wacana pilkada ke DPRD. Itu kan sudah pernah dilakukan, risikonya banyak, dan susah diminimalisir, dikandangkan lagi. ini kan sudah pernah saya jalani dan waktu masih di LSM juga sudah saya berikan masukan,” tutur Lidartawan.

Pria yang besar dengan berpindah-pindah antara Buleleng dan Bangli ini mengakui, isu-isu yang mengusik kedaulatan rakyat di sistem kepemiluan semacam ini jadi tantangannya selama 21 tahun ke belakang. Menurutnya, sistem sekarang ini memang tidak sempurna, namun bukan berarti harus kembali ke masa lalu yang sudah jelas-jelas kelam.

Sementara itu, Lidartawan tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke dalam dunia politik praktis yang ‘diatur-aturnya’ selama memimpin KPU di daerah setelah 2028 nanti. “Memang prinsip saya sejak masih menjadi aktivis, kalau mau memperbaiki lembaga, harus ke dalamnya,” katanya.

Tetapi itu masih jauh. Kita lihat nanti apa yang bisa dilakukan. Sepertinya saya akan ke situ (politik praktis), tapi ya lihat dulu nanti. Yang jelas, saya akan men-support KPU untuk menyelenggarakan (pemilu) lebih baik, kalaupun itu menjadi narasumber, atau ide-ide saya dipakai,” lanjutnya.

Namun yang jelas, Lidartawan bakal mengeluarkan buku setelah pensiun dari KPU nanti. Buku ini akan mengupas sistem kepemiluan tanah air dari sudut pandang Lidartawan, berbekal pengalaman menyelami sistem politik dan kepemiluan Indonesia selama dua dekade terakhir.

“Itu akan saya tulis di dalam buku saya nanti,” sambung Lidartawan.

Di sisi lain, perjalanan Lidartawan memasuki dunia kepemiluan terbilang unik lantaran ia sendiri mendalami disiplin pertanian. Disiplin ini ia dalami sebagai akademisi maupun sebagai peneliti jika dilihat dari karya-karya tulisnya yang didominasi pertanian dan pangan.

Meski begitu, menyeberangnya Lidartawan dari dunia pendidikan ke sistem pemilu dilatarbelakangi kegiatan aktivisme sebagai anggota LSM. Ia mengakui bahwa karena konflik kepentingan antara perannya sebagai akademisi dan aktivis mengantarkannya ke dunia kepemiluan.

“Saya kan aktivis. Dulu waktu saya mau S3 di Universitas Hokkaido itu saya ada halangan di kampus untuk tidak berangkat. Maka itu, daripada berpolitik di kampus, lebih baik saya ngatur politik di luar. Biar betul-betul menjadi pengatur yang baik,” tandas Lidartawan. *rat
Read Entire Article