ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Pemkot Denpasar melarang secara permanen penggunaan sound system atau pengeras suara saat pawai ogoh-ogoh pangrupukan rangkaian Hari Raya Nyepi. Larangan tersebut sudah tertuang dan diundangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Ogoh-ogoh.
Hal itu diungkapkan Kepala Bagian Hukum Setda Kota Denpasar Ni Komang Lestari Kusuma Dewi, Selasa (21/1). Menurutnya, Perda pelarangan penggunaan sound system tersebut sudah ditetapkan pada 31 Desember 2024 lalu.
Dalam aturan tersebut pelaksanaan baik lomba maupun parade ogoh-ogoh wajib menaati ketentuan yang termuat dalam perda dimaksud. “Dalam perda tersebut salah satunya mengenai kewajiban penggunaan gamelan Bali atau instrumen tradisional seperti kul-kul dan alat tradisional lainnya,” kata Lestari.
Jika melanggar akan dikenakan sanksi sesuai yang tertuang dalam perda. Di mana pada Pasal 11 ayat (5) diatur setiap peserta parade ogoh-ogoh wajib menggunakan gamelan Bali/instrumen tradisional dan tidak menggunakan sound system. Pasal 11 ayat 9 dan 10 mengatur sanksi administratif bagi peserta parade yang melanggar dan panitia penyelenggara.
Untuk peserta, di Pasal 9 disebutkan bahwa yang melanggar bisa diberikan sanksi teguran lisan, penghentian/pembongkaran sound system, dan larangan memasuki kawasan parade. Sanksi untuk panitia penyelenggara parade pada Pasal 10 disebutkan jika melakukan pelanggaran maka akan diberikan sanksi teguran tertulis, penghentian pelaksanaan parade, dan penghentian pemberian bantuan keuangan khusus untuk desa adat dan/atau sekaa teruna.
Diundangkannya pelarangan penggunaan sound system tersebut, kata Lestari, merupakan hasil dari evaluasi pelaksanaan parade ogoh-ogoh pada pangerupukan tahun 2024. Hasil evaluasi Pemkot Denpasar, DPRD, Forkopimda, MDA, forum perbekel lurah dan sabha upadesa yang dipimpin Wakil Walikota I Kadek Agus Arya Wibawa, disimpulkan bahwa meningkat pesat fenomena penyalahgunaan pemanfaatan sound system bukan dipergunakan untuk musik gamelan melainkan ke arah musik modern.
“Sound system tidak hanya dipergunakan memperkeras musik gamelan namun lebih banyak digunakan memutar musik-musik koplo dan lain-lain yang esensinya menyimpang dari makna pangerupukan. Belum lagi permasalahan serbuan-serbuan sound horeg dengan jumlah dan ketinggian yang besar, sangat membahayakan masyarakat dan mengganggu warga yang dilintasi,” ucap Lestari.
Ditambah lagi, kata Lestari, persoalan adanya ogoh-ogoh yang tidak dinaungi banjar adat maupun sekaa teruna yang tidak menempuh upacara pamelaspasan dan dipralina yang dikhawatirkan akan menodai makna dari pangerupukan itu sendiri yang tujuannya Nyomya Bhutakala.
“Dan yang tidak kalah penting adalah mengecilkan peran para yowana yang telah berupaya mengajegkan seni tetabuhan, gamelan, tari-tarian di sekaa teruna (ST) mereka untuk mengiringi ogoh-ogoh sesuai pakem. Permasalahan-permasalahan inilah yang sebenarnya mendorong untuk mengatur pelestarian ogoh-ogoh melalui instrumen perda,” imbuh Lestari yang juga Plt Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Kota Denpasar.
Kata dia, solusi bagi yang tidak memiliki gamelan bisa bergabung ke ST yang memiliki gamelan dan menjadi satu kesatuan saat parade. “Perda ini mulai berlaku tahun ini saat pangerupukan rangkaian Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1947 pada 29 Maret 2025 mendatang,” tandasnya. 7 mis