ARTICLE AD BOX
Jakarta, Gizmologi – Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK telah secara resmi mengubah istilah dari pinjaman online atau pinjol, menjadi pinjaman daring atau pindar. Penggantian sebutan tersebut, diterapkan untuk perusahaan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), alias fintech lending. Namun ternyata ada alasan lain yang memang memerlukan perubahan sebutan menjadi pindar.
Pekan ini (19/12), Indonesia Fintech Society (IFSOC) mengadakan sesi diskusi daring terkait kilas balik pertumbuhan finansial technology (fintech) selama satu tahun terakhir. Disebutkan bila tantangan dan peluang saat ini adalah untuk terus mendorong pertumbuhan yang seimbang, di tengah perkembangan inovasi teknologi dan juga perubahan regulasi yang juga semakin pesat.
Salah satunya terkait pindar yang kini semakin banyak, di mana diperlukan tata kelola yang baik serta pertimbangan keberlanjutan industri. Rudiantara selaku Ketua IFSOC sempat membuka sesi diskusi dengan menyebutkan bila tata kelola menjadi penting, ketika industri fintech kini semakin inklusif dengan jumlah pengguna yang terus bertambah.
“Bahkan sekarang, kita sudah ekspansi pembayaran lintas negara. Namun, tata kelola menjadi ‘pekerjaan rumah’ utama untuk menyambut berbagai inovasi teknologi baru,” jelas Rudiantara yang sempat menjabat sebagai Menkominfo RI 2014-2019 silam. Lantas apa dampak positif yang bisa dibawa ketika penyebutan pinjol diubah menjadi pindar?
Baca juga: Fintech Lending UKU Ungkap Pengajuan Pinjaman Meningkat Jelang Lebaran
Pindar Bisa Bantu UMKM, Namun Masih Perlu Edukasi
Turut hadir dalam sesi diskusi daring, Hendri Saparini selaku Anggota Steering Commitee IFSOC sebutkan bila istilah pinjol saat ini telah menimbulkan misinformasi di kalangan masyarakat, seolah menjadi penyebutan dari layanan fintech landing yang ilegal. Sehingga perlu ada penyebutan baru yang dapat mewakilkan solusi legal, untuk membedakan layanan yang bodong.
Sehingga ke depannya, pindar bakal digunakan untuk menyebutkan layanan peminjaman legal, sementara pinjol untuk yang ilegal. Menurutnya, edukasi terkait pindar perlu terus ditingkatkan, agar masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan keuangan alias unbanked bisa menggunakan pindar secara tepat, dan terhindar dari segala risiko memberatkan.
“Di beberapa negara, unbanked population cukup rendah. Namun di Indonesia, masih sangat tinggi. Kalau ASEAN pada 2022 lalu mencapai 27%, Indonesia (menurut daya dari Bank Dunia) pada 2021 mencapai 48% penduduk yang masih belum mendapatkan akses terhadap layanan perbankan. Ini sangat penting bagi Indonesia untuk mendorong berkembangnya pindar,” tambah Hendri.
Selain edukasi terkait pembiayaan dan pembayaran tidak menjerat mereka yang memanfaatkan pindar, juga diperlukan strategi khusus agar para pebisnis seperti UMKM, bisa benar-benar memanfaatkannya sebagai nilai tambah. “harus dipahami bahwa layanan pendanaan seperti pindar, adalah pinjaman tanpa jaminan, sehingga punya risiko jauh lebih besar daripada yang konvensional,” jelas Hendri.
Sampai Oktober 2024 kemarin, industri fintech lending telah berhasil meraup keuntungan senilai Rp1,09 trilyun, meningkat kurang lebih Rp806 milyar dibandingkan bulan sebelumnya. Faktor lain seperti adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), juga penting untuk mencegah risiko pelanggaran data sampai pengembangan industri fintech.
Perlu Atasi Risiko Fraud yang Juga Semakin Meningkat
Selain perubahan penyebutan menjadi pindar untuk mencegah penggunaan fintech lending ilegal, inisiatif untuk mencegah penipuan alias fraud juga menjadi penting. Tirta Segara, Anggota Steering Commitee IFSOC mengapresiasi sejumlah inisiatif yang sudah tercipta berkat OJK dan BI, seperti Indonesia Anti Scam Center (IASC) hingga Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN).
“Kita juga perlu mendorong inisiatif lain seperti universal fraud database, seperti di OJK yang punya Sistem Informasi Pelaku (SIPELAKU). Pelaksanaannya perlu dipercepat untuk menjadi hub data, agar dapat berbagi informasi pelaku fraudster (sehingga) mempersempit ruang gerak mereka,” jelas Tirta.
Ia juga terus menginformasikan kepada masyarakat untuk menghindari pindar ilegal, salah satunya dengan memerhatikan “dua L”, alias legal dan logis. Tirta menambahkan, “kalau suku bunganya tidak logis, hindari. Untuk mengetahui legal atau tidak, telpon saja OJK 157, tanya saja apakah ini ilegal, berizin, dan diawasi oleh OJK.”
Artikel berjudul IFSOC Paparkan Alasan Perubahan Pinjol Menjadi Pindar: “Hindari yang Ilegal” yang ditulis oleh Prasetyo Herfianto pertama kali tampil di Gizmologi.id